1. Dr. Soetomo
![]() |
Dr. Soetomo |
Tahukah
kamu, tanggal berapa Hari Kebangkitan Nasional diperingati? Hampir semua orang
Indonesia bisa menjawabnya, yaitu tanggal 20 Mei. Namun tahukah kamu siapa
sosok yang berjasa di balik peringatan itu? Ialah Dr Soetomo, pendiri
organisasi pergerakan pertama Boedi Oetomo yang muncul pada tanggal 20 Mei
1908. Jadi kali ini, yuk kita cari tahu lebih banyak tentang sosok Dr Soetomo.
Dr Soetomo
lahir di Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur, 30 Juli 1888. Pada tahun 1903,
Soetomo menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding va, Inlandsche
Artsen, Batavia. Selama hidupnya, ia dikenal sebagai mediator yang baik untuk
mendamaikan 2 pihak yang sedang bertikai. Ia juga sangat peduli pada kemajuan
pendidikan pemuda Indonesia. Ia bersama kawan-kawan STOVIA memperkenalkan ide
memberikan bantuan dana bagi para pelajar pribumi berprestasi tapi miskin. Ide
ini berkembang dengan bergabungnya sekelompok priyayi Jawa untuk mendirikan
Boedi Oetomo.
Organisasi
Boedi Oetomo adalah bentuk kesuksesan Dr Soetomo dalam menyatukan priyayi
profesional, birokratis, berpendidikan barat dan tradisional dalam satu
organisasi yang selaras dan serasi. Boedi Otomo melambangkan pandangan
masyarakat bagaimana dapat dibentuk serasi seperti orkes alat musik
kesayangannya, gamelan. Setiap orang dan setiap kelompok memainkan peran yang
telah ditetapkan dalam menyelaraskan melodi dalam orkes gamelan.
Sepanjang
hidupnya, Soetomo banyak mengabdikan diri di bidang sosial dan budaya dengan
membangun rumah sakit, panti asuhan, rukun tani, lembaga kesehatan umum, bank
desa, dan koperasi ketimbang berpolitik praktis melawan penjajah. Baru setelah
berdirinya Partai Indonesia Raya (1935) jalur perlawanan Soetomo beralih
melawan Belanda. Dr Soetomo meninggal pada tanggal 30 Mei 1938 di Surabaya,
Jawa Timur. Jasa-jasanya akan selalu terkenang oleh bangsa Indonesia. [iwe]
2. Marsinah
Ini kisah
pahlawanku…..
Pengetahuan
Mengubah Nasib
Marsinah
lahir tanggal 10 April 1969. Anak nomor dua dari tiga bersaudara ini merupakan
buah kasih antara Sumini dan Mastin. Sejak usia tiga tahun, Marsinah telah
ditinggal mati oleh ibunya. Bayi Marsinah kemudian diasuh oleh
neneknya—Pu’irah—yang tinggal bersama bibinya—Sini—di desa Nglundo, Nganjuk,
Jawa Timur.
Pendidikan
dasar ditempuhnya di SD Karangasem 189, Kecamatan Gondang. Sedang pendidikan
menengahnya di SMPN 5 Nganjuk. Sedari kecil, gadis berkulit sawo matang itu
berusaha mandiri. Menyadari nenek dan bibinya kesulitan mencari kebutuhan
sehari-hari, ia berusaha memanfaatkan waktu luang untuk mencari penghasilan
dengan berjualan makanan kecil.
Di
lingkungan keluarganya, ia dikenal anak rajin. Jika tidak ada kegiatan sekolah,
ia biasa membantu bibinya memasak di dapur. Sepulang dari sekolah, ia biasa
mengantar makanan untuk pamannya di sawah. “Dia sering mengirim bontotan ke
sawah untuk saya. Kalau panas atau hujan, biasanya anak itu memakai payung dari
pelepah pisang,” kenang Suradji, pamannya Marsinah sambil menerawang. Berbeda
dengan teman sebayanya yang lebih suka bermain-main, ia mengisi waktu dengan
kegiatan belajar dan membaca. Kalaupun keluar, paling-paling dia hanya pergi
untuk menyaksikan siaran berita televisi.
Ketika
menjalani masa sekolah menengah atas, Marsinah mulai mandiri dengan mondok di
kota Nganjuk. Selama menjadi murid SMA Muhammadiyah, ia dikenal sebagai siswa
yang cerdas. Semangat belajarnya tinggi dan ia selalu mengukir prestasi dengan
peringkat juara kelas. Jalan hidupnya menjadi lain ketika ia terpaksa harus
menerima kenyataan bahwa ia tidak punya cukup biaya untuk melanjutkan sekolah
ke jenjang yang lebih tinggi, seperti juga nasib jutaan anak sekolah di
Indonesia yang tidak mampu menyelesaikan sekolahnya karena tidak punya biaya.
Kondisi
keluarga yang miskin membuat Marsinah meninggalkan desanya, sebuah langkah
hidup yang sulit terelakan. Kesempatan kerja di pedesaan semakin sempit. Kerja
sebagai buruh tani makin kecil peluangnya. Sekarang ani-ani—alat tradisional
penuai padi—sudah berganti dengan sabit yang lebih efisien dan tidak memerlukan
jumlah tenaga kerja sebanyak sebelumnya. Perkembangan teknologi, bukannya meningkatkan
kesejahteraan rakyat, justru semakin menyingkirkan para buruh tani. Tidak
mengherankan, bau keringat bercampur tanah sawah sudah tidak lagi memenuhi
udara pedesaan. Lenguhan sapi yang kelelahan membajak tanah semakin jarang
terdengar. Ia telah disingkirkan oleh deru mesin traktor.
Ujungnya
adalah tidak ada pilihan lagi selain pergi ke kota. Maka ia berusaha
mengirimkan sejumlah lamaran ke berbagai perusahaan di Surabaya, Mojokerto, dan
gresik. Akhirnya ia diterima di pabrik sepatu BATA di Surabaya tahun 1989 dan
memulai kehidupannya sebagai buruh seperti halnya jutaan kaum tani yang
terseret ke pabrik-pabrik karena kemiskinan yang parah di pedesaan. Setahun
kemudian ia pindah ke pabrik arloji Empat Putra Surya di Rungkut Industri,
sebelum akhirnya ia pindah mengikuti perusahaan tersebut yang membuka cabang di
Siring, Porong, Sidoarjo. Marsinah adalah generasi pertama dari keluarganya
yang menjadi buruh pabrik.
Kegagalan
meneruskan ke perguruan tinggi bukannya membuat semangat belajarnya padam.
Marsinah berkeyakinan bahwa pengetahuan itu mampu mengubah nasib seseorang.
Semangat belajar yang tinggi tampak dari kebiasaannya menghimpun berbagai
informasi. Ia suka mendengarkan warta berita, baik lewat radio maupun televisi.
Minat bacanya juga tinggi. Pada waktu-waktu luang, ia seringkali membuat
kliping koran. Malahan untuk kegiatan yang satu ini ia bersedia menyisihkan
sebagian penghasilannya untuk membeli koran dan majalah bekas, meskipun
sebenarnya penghasilannya pas-pasan untuk menutup biaya hidup.
Marsinah
Berjuang
Ia dikenal
sebagai seorang pendiam, lugu, ramah, supel, ringan tangan dan setia kawan. Ia
sering dimintai nasihat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi
kawan-kawannya. Kalau ada kawan yang sakit, ia selalu menyempatkan diri untuk
menjenguk. Selain itu ia seringkali membantu kawan-kawannya yang diperlakukan
tidak adil oleh atasan. Ia juga dikenal sebagai seorang pemberani.
Paling tidak
dua sifat yang terakhir disebut—pemberani dan setia kawan—inilah yang
membekalinya menjadi pelopor perjuangan. Pada pertengahan April 1993, para
buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)—pabrik tempat kerja Marsinah—menyambut dengan
senang hati kabar kenaikan upah menurut Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam
surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh
sebesar 20% dari upah pokok, namun himbauan ini tidak digubris oleh PT. CPS
karena jelas akan membuat rugi perusahaan dan ini menimbulkan keresahan di
antara para buruh.
Keresahan
tersebut akhirnya berbuah perjuangan. Pada tanggal 3 Mei 1993 buruh PT. CPS
mogok kerja dan menuntut kenaikan upah seusai dengan Surat Edaran Guberner Jawa
Timur. Sebagian buruh bergerombol dan mengajak teman-teman mereka untuk mogok
kerja. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untuk mencari
data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin
Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja
yang hendak mogok.
Tanggal 4
Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan
12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka
bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang
menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Tidak
ketinggalan, para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek
poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada
para pengunjuk rasa.
"Tuntutan
kami berikutnya adalah bubarkan SPSI, tapi Depnaker langsung berdiri dan
menyatakan, ‘ini ciri-ciri dari PKI’. Alasannya, SPSI itu bentukan pemerintah
dan legal. Kalau melawan langsung dinyatakan PKI. Kami sangat ketakutan kalau
di cap sampai sejauh itu," kata Klowor, pemimpin aksi ketika itu, pada
peringatan malam kebudayaan “Marsinah Menggugat” di pelataran kantor Lembaga
Bantuan Hukum Jakarta (sumber: www.vhrmedia.com)
Berakhirkah
pertentangan antara buruh dengan pengusaha? Ternyata tidak! Tanggal 5 Mei 1993,
13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari
kelurahan Siring. Tanpa babibu, tentara mendesak agar ke-13 buruh itu
menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik
dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di
tempat yang sama. Sungguh! Hukum menjadi kehilangan gigi ketika senapan tentara
ikut bermain.
Marsinah
sadar betul bahwa peristiwa yang menimpa kawan-kawannya, dan juga dirinya
sendiri, adalah suatu keniscayaan di negeri milik pengusaha ini. Dari
kliping-kliping surat kabar yang diguntingnya, dari keluhan-keluhan
kawan-kawannya se pabrik, dari kemarahan-kemarahan dan teriakkan, dan dari apa
yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, semuanya memberinya pengetahuan
tentang ketidakberesan dalam masyarakat Indonesia.
Marsinah,
dengan semangat kesetiawakawannya, mendatangi Kodim Sidoarjo sendirian pada
hari itu juga untuk menanyakan nasib 13 rekannya yang dibawa ke sana. Sekitar
pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Kawan-kawan Marsinah tidak mengetahui
keberadaannya sampai tanggal 9 Mei, ketika mayat Marsinah ditemukan di
pinggiran hutan jati Wilangan. Jasadnya ditemukan dengan tanda-tanda bekas
kekerasan, sampai tulang duduk dan kemaluannya koyak seperti diterjang benda
keras. Berdasarkan hasil autopsi Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian
Forensik RSUD Soetomo Surabaya) dan Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD
Nganjuk) ditemukan penyebab kematian Marsinah adalah penyiksaan berat dan
ditemukannya tulang leher dan panggul yang hancur.
Dagelan-dagelan
penyelidikan pun berlangsung tanpa seorang pun yang dikenai hukuman. Dari rejim
Soeharto, Gus Dur, hingga Megawati,
kematian Marsinah dicoba diangkat lagi ke permukaan, tetapi kejelasan
hukum tetap nihil. Hukum di negeri yang ‘demokratis’ ini seakan terkubur bersama
dengan jasad Marsinah.
Demikianlah
kisah Marsinah, wanita pembela hak buruh yang masih menagih keadilan dari liang
lahatnya,kawan. 18 tahun dan Marsinah masih saja menggugat. Demi memperjuangkan
550 rupiah yang merupakan hak rekan-rekan buruh, wanita muda pemberani itu
harus meregang nyawa. Kasus Marsinah ini tercatat oleh ILO (International Labor
Organization) sebagai peristiwa 1713 yang belum menemui titik terang hingga
saat ini.
Selain
Marsinah,masih ada ribuan nasib diluar sana yang belum terjamah. Terkubur dalam
bisunya rasa takut, tenggelam dalam kepulan kabut keheningan. Kisah Marsinah
bukan karena tragisnya maka saia publikasikan pada anda..Kisah Marsinah lebih
dari sekedar menyambut Hari Buruh atau Mayday.
Kisah
Marsinah adalah tentang perjuangan, tentang cita-cita. Ketika darah rekan
seperjuangan telah tertumpah, maka malu lah anak muda jika cita-cita bersama
tak kesampaian !
Marsinah
ingin mengubah nasib… Bagaimana denganmu ?
sumber :(sumber: www.militanindonesia.org )
3. Sejarah Harmoko
Sedikit bernostalgia, di era masa kepemimpinan Soeharto ada seorang
menteri yang begitu loyal dan royal kepada Sang Presiden yang selama 32 tahun
memimpin negeri ini. Walau terdengar tidak mengenakan ketika ia menjelaskan apa
pun yang terjadi di Istana beliau-lah yang selalu menjelaskan, dan beliau-lah yang
boleh dikatakan sebagai juru bicara H. Moh. Soeharto.
Dia-lah
menteri yang paling sering di sorot media, hingga akhirnya menjadi populer
ketika berkuasanya rezim orde lama. Patianrowo, Nganjuk, Jawa Timur, 7 Februari
1939 tempat ari-arinya di tanam ( tempat ia dilahirkan ), pria yang terbilang
beruntung dengan karir gemilang-nya, dan tidak ada satu pun menteri yang diberi
kepercayaan hampir 3 periode untuk menjabat dan duduk sebagai seorang menteri
dari tahun 1983 sampai dengan 1997. Dilanjutkan Ketua Umum Gokar (partai
penguasa), periode 1993-1998; dan menjabat ketua DPR/MPR dari tahun 1997 sampai
dengan tahun 1999.
Selapas SMA,
ia sudah menggeluti karir sebagai wartawan, dari pintu jurnalis-lah ia terseret
dalam lingkaran kekuasaan orde baru, ketika ia bergabung sebagai tenaga jurnails Harian Angkatan Bersenjata
tahun 1964, dengan profesi yang ia tekuni inilah, beliau ditakdirkan memiliki
insting politik yang tajam, dan mampu memanfaatkan peluang kedekatannya dengan
para Jendral dan supel di kalangan
militer.
Harmoko nama
pria yang menjadi pengganti Ali Moertopo ini rupanya pendiri dari koran harian
POS KOTA yang masih eksis sampai detik ini dan ia pun sering mengisi rubrik
kopi pagi, walau dirinya terbolang sudah rentah. Harmoko, dia-lah pencetus gerakan Kelompencapir (Kelompok pendengar,
pembaca dan pemirsa) yang dimaksudkan sebagai alat untuk menyebarkan informasi
dari pemerintah.
Dalam
buku-nya, Menteri yang hanya lulusan SMA ini mencoba menganalisa dan meramal
bahwa kelak yang akan menjadi presiden RI 2014 nanti adalah mereka yang
didukung oleh kalangan militer. Ia pernah diiuskan meninggal dunia, dikarenakan
usia-nya yang kian rentah. Justru isu tersebut berbalik dari kenyataannya,
justru ia tetap energic dan menulis di kolom rubrik Pos Kota, bukan hanya itu
beliau pun kini lebih fokus memperhatikan pondok pesantren yang ia dirikan,
yakni pesantren Al-Barokah di Nganjuk, Jawa Timur.
Karier
Harmoko:
• Ketua MPR
1997—1999
• Ketua DPR
1997—1999
• Menteri
Penerangan 1983—1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar