Candi Lor
terletak di Desa Candirejo, Loceret ± 4 km selatan Kota Nganjuk. Berdiri di
atas tanah seluas 42 x 39,40 m = 1.654 m², luas saubasementnya (alasnya) 12,40
x 11,50 m = 142,60 m², dan tinggi candi ± 9,30 m, didirikan oleh seorang yang
bernama Empu Sindok tahun 859 Çaka atau 937 Masehi sebagai Tugu Peringatan atas
jasa masyarakat Anjuk Ladang (sekarang Nganjuk) saat melawan tentara Melayu.
Prasasti Anjuk Ladang yang ditemukan di sekitar Candi Lor merupakan bukti
sejarah berdirinya Kabupaten Nganjuk.
Pada
bangunan Candi Lor ini terdapat 2 buah makam, yaitu Abdu Dalem Kinasih Empu Sindok
yang bernama: Eyang Kerto dan Eyang Kerti.
Selain
terdapat makam, juga kita dapat jumpai pohon yang sangat besar yang umurnya ±
500 tahun. Pohon kepuh ini berdiri di atas bangunan candi. Bahan baku pada
bangunan Candi Lor adalah bata berukuran tinggi 5,6 m, panjang 7 m dan lebar
4,2 m. Keadaan candi sudah tidak utuh lagi tinggal sebagian badan dan kaki,
dari tangga yang diperkirakan candi menghadap ke barat.
Keadaan
sekarang hanya tinggal reruntuhan tetapi dari sisa-sisa yang ada dapat diketahui
bahwa bangunan semula terdiri dari dua tingkat. Bagian depannya di barat di
dekat reruntuhan candi ditemukan reruntuhan arca Ganesha dan Nandi, serta
prasasti batu bertarikh 850 Çaka (937 M) yang menyebutkan bangunan suci
Srijayamerta. Sehingga dapat disimpulkan Candi Lor merupakan bangunan suci
Agama Hindu.
Latar
Belakang Sejarah
Laporan
paling tua tentang Candi Lor ditulis Raffles pada tahun 1817, ia mencatat bahwa
distrik Anjoek terdapat sebuah bangunan suci berdiri sangat bagus dengan bentuk
seperti Candi Jabung di Probolinggo. Menurut Raffles, kemiripan tersebut
menunjukkan bahwa baik dimensi maupun rancangan umum dari sejumlah candi-candi
distrik timur berbeda jauh dan dibangun dengan material yang sama. Pada tahun
1866 Hoepermans mencatat tentang keadaan Candi Lor yang waktu itu berupa
sisa-sisa bangunan dari bata yang ditumbuhi oleh pohon kepuh.
Bangunan
Candi Lor tanpa ornamen dengan pintu masuk di sebelah barat, di tempat ini
ditemukan arca-arca banyak yang sudah cacat. Di antara arca-arca tersebut
terdapat Ganesha dan Nandi, kemudian arca-arca itu dibawa ke Kediri. Sedangkan
pada tahun 1908, Kneebel mencatat bahwa di suatu ketinggian di sisi jalan Desa
Papoengan, terdapat candi tanpa atap yang keadaannya dililit oleh akar-akar
pohon sepreh. Di sekitar candi terdapat Yoni yang telah patah dan terdapat
sebuah kuburan. Situs Candi Lor ini terkenal sebagai tempat pertapaan tokoh
yang bernama Gentiri.
Pada tahun
1913 N.J. Krom banyak mengulas tentang prasasti Anjuk Ladang yang ditemukan di
halaman Candi Lor. Prasasti tersebut pernah dibawa ke Residen Kediri yang
akhirnya karena kepentingan penelitian dibawa ke Jakarta dengan nomor
inventaris C.59. Bagian yang memuat angka tahun pada Prasasti Anjuk Ladang
tersebut sudah aus sehingga menimbulkan berbagai penafsiran para ahli. Brandes
membacanya 857 Çaka yang kemudian hari diragukan ketepatannya oleh L.C. Damais.
Menurutnya angka tahun tersebut haruslah dibaca 859 Çaka (937 M).
Prasasti
Anjuk Ladang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isana Wikrama
Dharmottungga Dewa yang memerintahkan Rakai Hino Pu Sahasra Rakai Wka Pu
Baliswara serta Rakai Kanuruhan Pu Da untuk menetapkan Watek Anjuk Ladang
(Nganjuk) sebagai Desa Swantantra, seperti tersurat dalam kalimat: …”Sawah
kakaitan I Anjuk Ladang tutugani tanda Swantantra”.
Habib
Mustopo menjelaskan bahwa data yang tak diragukan adalah adanya centara
penetapan Swantantra di Anjuk Ladang dengan sebuah bangunan suci seorang tokoh
yang cukup terkenal yaitu “Bhatara I Sang Hyang plasada kabyaktan I dharma
samgat I Anjuk Ladang”. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Candi Lor paling
tidak berasal dari 859 Çaka atau 937 M dan berhubungan langsung dengan Sri Maharaja
Pu Sindok Sri Isana Wikramatunggadewa dan sampai sekarang Candi Lor dikenal
sebagai candi cikal bakal berdirinya Kabupaten Nganjuk dan sebagai dasar
penetapan hari jadi Kota Nganjuk pada tanggal 10 April 937 M.
![]() | ||
Candi Lor |
5. Sejarah Candi Ngetos
Letak Geografis Candi Ngetos :
Candi Ngetos
terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, sekitar 17 kilometer arah selatan
kota Nganjuk. Bangunannya terletak ditepi jalan beraspal antara Kuncir dan
Ngetos. Menurut para ahli, berdasarkan bentuknya candi ini dibuat pada abad XV
(kelimabelas) yaitu pada zaman kerajaan (Majapahit). Dan menurut perkiraan,
candi tersebut dibuat sebagai tempat pemakaman raja Hayam Wuruk dari Majapahit.
Bangunan ini secara fisik sudah rusak, bahkan beberapa bagiannya sudah hilang,
sehingga sukar sekali ditemukan bentuk aslinya.
Berdasarkan
arca yang ditemukan di candi ini, yaitu berupa arca Siwa dan arca Wisnu, dapat
dikatakan bahwa Candi Ngetos bersifat Siwa–Wisnu. Kalau dikaitkan dengan agama
yang dianut raja Hayam Wuruk, amatlah sesuai yaitu agama Siwa-Wisnu. Menurut
seorang ahli (Hoepermas), bahwa didekat berdirinya candi ini pernah berdiri
candi berukuran lebih kecil (sekitar 8 meter persegi), namun bentuk keduanya
sama. N.J. Krom memperkirakan bahwa bangunan candi tersebut semula dikelilingi
oleh tembok yang berbentuk bulat cincin.
Bangunan
utama candi tersebut dari batu merah, sehingga akibatnya lebih cepat rusak.
Atapnya diperkirakan terbuat dari kayu (sudah tidak ada bekasnya). Yang masih
bisa dilihat tinggal bagian induk candi dengan ukuran sebagai berikut :
Panjang candi (9,1 m)
Tinggi Badan (5,43 m)
Tinggi keseluruhan (10 m)
Saubasemen (3,25 m)
Besar Tangga Luar (3,75 m)
Lebar Pintu Masuk (0,65 m)
Tinggi Undakan menuju Ruang Candi (2,47 m)
Ruang Dalam
(2,4 m)
Cerita Terbetuknya Candi
Ngetos, yang sekarang tinggal bangunan induknya yang sudah rusak itu, dibangun
atas prakarsa raja Hayam Wuruk. Tujuan pembuatan candi ini sebagai tempat
penyimpanan abu jenasahnya jika kelak wafat. Hayam Wuruk ingin dimakamkan di
situ karena daerah Ngetos masih termasuk wilayah Majapahit yang menghadap
Gunung Wilis, yang seakan-akan disamakan dengan Gunung Mahameru. Pembuatannya
diserahkan pada pamannya raja Ngatas Angin, yaitu Raden Condromowo, yang
kemudian bergelar Raden Ngabei Selopurwotoo. Raja ini mempunyai seorang patih
bernama Raden Bagus Condrogeni, yang pusat kepatihannya terletak disebelah
barat Ngatas Angin, kira-kira berjarak 15 km.
Diceritakan,
bahwa Raden Ngabei Selopurwoto mempunyai keponakan yang bernama Hayam Wuruk
yang menjadi Raja di Majapahit. Hayam Wuruk semasa hidup sering mengunjungi
pamannya dan juga Candi Lor. Wasiatnya kemudian, nanti ketika Hayam Wuruk
wafat, jenasahnya dibakar dan abunya disimpan di Candi Ngetos. Namun bukan pada
candi yang sekarang ini, melainkan pada candi yang sekarang sudah tidak ada
lagi.
Konon
ceritanya pula, di Ngetos dulu terdapat dua buah candi yang bentuknya sama
(kembar), sehingga mereka namakan Candi Tajum. Hanya bedanya, yang satu lebih
besar dibanding lainnya. Krom juga berpendapat, bahwa disekitar candi Ngetos
ini terdapat sebuah Paramasoeklapoera, tempat pemakaman Raja Hayam Wuruk.
Mengenai kata Tajum dapat disamakan dengan Tajung, sebab huruf “ng” dapat
berubah menjadi huruf “m” dengan tanpa berubah artinya. Misalnya Singha menjadi
Simha dan akhirnya Sima. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekmono yang
menyatakan bahwa setelah Hayam Wuruk meninggal dunia, maka makamnya diletakkan
di Tajung, daerah Berbek, Kediri.
Selanjutnya
diceritakan, bahwa Raja Ngatas Angin R. Ngabei Selupurwoto mempunyai saudara di
Kerajaan Bantar Angin Lodoyo (Blitar) bernama Prabu Klono Djatikusumo, yang
kelas digantikan oleh Klono Joyoko. Raja-raja ini ditugaskan oleh Hayam Wuruk
untuk membuat kompleks percandian. Raden Ngabai Selopurwoto di kompleks Ngatas
Angin menugaskan Empu Sakti Supo (Empu Supo) untuk membuat kompleks percandian
di Ngetos. Karena kesaktiannya maka dalam waktu yang tidak terlalu lama tugas
tersebut dapat diselesaikan sesuai petunjuk.
6. Sejarah monumen Dr.Soetomo
Bangunan
Monumen merupakan salah satu bentuk perwujudan dari sebuah penghargaan dari
Negara atas jasa-jasa yang telah dilakukan seseorang yang dapat dikategorikan
sebagai Pahlawan Bangsa. Salah satu bentuk monumen yang ada di Nganjuk adalah
monumen Dr.Soetomo.
Dr.Soetomo
merupakan salah satu pahlawan Pergerakan Nasional yang asli berasal dari
Nganjuk. Untuk menghormati beliau dibangunlah sebuah monumen sebagai saksi
sejarah tentang keberadaan dan kepahlawanannya dalam membela Nusa dan Bangsa
Beberapa
pihak masih ada yang belum percaya atau meragukan bahwa Dr.Soetomo asli berasal
dari Nganjuk kota kita yang tercinta ini. Dilatar belakangi hal tersebut maka
di sini dipaparkan bagaimana proses sampai terbangunnya monumen Dr.Soetomo yang
berlokasi di Desa Ngepeh Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk.
Menurut
Sukoco salah satu pemerhati sejarah bumi Anjuk Ladang, menyatakan bahwa memang
benar bahwa Dr.Soetomo lahir di Nganjuk di Desa Ngepeh Kec.Loceret. Bahkan
ari-ari beliau diperkirakan tepat berada dibawah patung Dr. Soetomo yang
digambarkan sedang duduk menghadap ke selatan, “Keterangan ini berasal dari
Siti Nurjanah yang masih kerabat dekat dengan Dr.Soetomo jauh sebelum monumen
Dr.Soetomo dibangun”, tambah Sukoco.
Monumen
Dr.Soetomo yang ada di Desa Ngepeh
tersebut
sebenarnya adalah rumah dari neneknya.
Disaat
kabinet orde baru masih eksis, timbul pemikiran dari Menteri Penerangan yang
dijabat Harmoko untuk memprakarsai pembangunan sebuah monumen sejarah
Dr.Soetomo. Prakarsa untuk membangun sebuah monumen pahlawan Nasional tersebut
akhirnya disetujui atau didukung oleh semua pihak baik yang ada di pusat,
propinsi maupun daerah.
Berdasarkan
komitmen bersama antara Harmoko (Deppen Pusat), Pemerintah Propinsi dan
Pemerintah Kabupaten Nganjuk, akhirnya dibangunlah Monumen Dr.Soetomo yang
diresmikan tepat tanggal 6 Mei 1986 untuk menghormati beliau sebagai tokoh
pergerakan nasional oleh Harmoko.
Adapun
riwayat Dr. Soetomo adalah adalah sebagai berikut :
Menurut
urutan silsilah, eyang dari Dr. Soetomo bernama H. Abdurrahman Singowidjojo,
bertempat tinggal di Desa Ngepeh Kecamatan Loceret, sedangkan ayahnya bernama
R. Soewadjipoetro, pada tahun 1888 bertempat tinggal di Jombang.
Menurut
informasi dari Ibu Kartini salah satu kerabat Dr. Soetomo. Menjelaskan bahwa
pada saat ibu Dr.Soetomo yang bernama R. AY. Soedarmi sedang mengandung/bobot
sepuh (jawa), oleh nenek ( Eyang putri ) Dr.Soetomo yang bernama R. AY. Sadilah
diboyong dengan cara ditandu dari Kabupaten Jombang sampai ke Nganjuk tepatnya
di Desa Ngepeh Kec. Loceret. Dan beberapa hari kemudian lahirlah jabang bayi
laki-laki yang tidak lain adalah Dr. Sortomo pada tahun 1888. Hari berganti
hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun akhirnya Soetomo berkembang
menjadi pemuda yang gagah dan tampan.
Dari
penuturan salah satu kerabat dekat beliau yang sekarang sebagai juru kunci
pemakanan khusus keluarga Dr. Soetomo yang bernama Mahmud Akiyat (39) canggah
dari Kyai Bunawi bahwa sebenarnya pada masa-masa muda Soetomo ( sebelum menjadi
dokter ) adalah sosok pemuda yang cukup bandel. Dia (Soetomo muda) bahkan tidak
mau sekolah hingga kadang membuat berang kedua orang tuanya. Akan tetapi karena
bimbingan dan pendidikan serta motivasi dan dorongan dari R. Hardjodipoero yang
tidak lain adalah pamannya sendiri, akhirnya Soetomo tumbuh menjadi pemuda yang
cerdas hingga mampu meraih gelar Dokter.
Setelah
bergelar Dokter, Soetomo ternyata juga aktif dalam gerakan-gerakan pemuda yang
pada akhirnya mampu membangkitkan semangat para penerus bangsa untuk selalu
berjuang demi tegaknya kedaulatan ibu pertiwi tanah tumpah darah Indonesia.
Oleh karena itu maka Dr. Soetomo diberikan gelar sebagai pahlawan pergerakan
nasional. Dr. Soetomo meninggal pada tahun 1938 dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Surabaya.
Mengingat
jasa-jasa beliau yang besar kepada negara maka atas prakarsa Harmoko pada tahun
1985 mulailah dibangun sebuah monumen yang diberi nama monumen Dr. Soetomo.
Dengan harapan agar kelak dikemudian hari anak cucu generasi penerus bangsa
kita yang tercinta ini dapat meneladani kepahlawanan Dr.Soetomo, demi kemajuan
bangsa Indonesia menuju bangsa yang besar.
Di sebelah
selatan monumen Dr. Soetomo + 1 km, terdapat makam khusus keluarga besar R.
Singowidjojo. Yang bersemayam dimakam khusus keluarga besar tersebut
diantaranya adalah R. Singowidjojo (Eyang kakung Dr.Soetomo), R. AY. Soedarmi
Soewadjipoetro (Ibu Dr.Soetomo), R. Hardjodipoero (Paman sekaligus Pendidik
Dr.Soetomo), beserta kerabat dekat lain yang masih famili dengan Dr.Soetomo
yang telah meninggal seperti Siti Nurjanah, Kyai Bunawi, Sugeng Ari Subuwono.
Sedangkan ayah beliau yang bernama R. Soewadjipoetro dimakamkan di Madiun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar