Sabtu, 23 September 2017

Peninggalan Bersejarah

4. Sejarah Candi Lor



Candi Lor terletak di Desa Candirejo, Loceret ± 4 km selatan Kota Nganjuk. Berdiri di atas tanah seluas 42 x 39,40 m = 1.654 m², luas saubasementnya (alasnya) 12,40 x 11,50 m = 142,60 m², dan tinggi candi ± 9,30 m, didirikan oleh seorang yang bernama Empu Sindok tahun 859 Çaka atau 937 Masehi sebagai Tugu Peringatan atas jasa masyarakat Anjuk Ladang (sekarang Nganjuk) saat melawan tentara Melayu. Prasasti Anjuk Ladang yang ditemukan di sekitar Candi Lor merupakan bukti sejarah berdirinya Kabupaten Nganjuk.
Pada bangunan Candi Lor ini terdapat 2 buah makam, yaitu Abdu Dalem Kinasih Empu Sindok yang bernama: Eyang Kerto dan Eyang Kerti.




Selain terdapat makam, juga kita dapat jumpai pohon yang sangat besar yang umurnya ± 500 tahun. Pohon kepuh ini berdiri di atas bangunan candi. Bahan baku pada bangunan Candi Lor adalah bata berukuran tinggi 5,6 m, panjang 7 m dan lebar 4,2 m. Keadaan candi sudah tidak utuh lagi tinggal sebagian badan dan kaki, dari tangga yang diperkirakan candi menghadap ke barat.



Keadaan sekarang hanya tinggal reruntuhan tetapi dari sisa-sisa yang ada dapat diketahui bahwa bangunan semula terdiri dari dua tingkat. Bagian depannya di barat di dekat reruntuhan candi ditemukan reruntuhan arca Ganesha dan Nandi, serta prasasti batu bertarikh 850 Çaka (937 M) yang menyebutkan bangunan suci Srijayamerta. Sehingga dapat disimpulkan Candi Lor merupakan bangunan suci Agama Hindu.

Latar Belakang Sejarah
Laporan paling tua tentang Candi Lor ditulis Raffles pada tahun 1817, ia mencatat bahwa distrik Anjoek terdapat sebuah bangunan suci berdiri sangat bagus dengan bentuk seperti Candi Jabung di Probolinggo. Menurut Raffles, kemiripan tersebut menunjukkan bahwa baik dimensi maupun rancangan umum dari sejumlah candi-candi distrik timur berbeda jauh dan dibangun dengan material yang sama. Pada tahun 1866 Hoepermans mencatat tentang keadaan Candi Lor yang waktu itu berupa sisa-sisa bangunan dari bata yang ditumbuhi oleh pohon kepuh.
Bangunan Candi Lor tanpa ornamen dengan pintu masuk di sebelah barat, di tempat ini ditemukan arca-arca banyak yang sudah cacat. Di antara arca-arca tersebut terdapat Ganesha dan Nandi, kemudian arca-arca itu dibawa ke Kediri. Sedangkan pada tahun 1908, Kneebel mencatat bahwa di suatu ketinggian di sisi jalan Desa Papoengan, terdapat candi tanpa atap yang keadaannya dililit oleh akar-akar pohon sepreh. Di sekitar candi terdapat Yoni yang telah patah dan terdapat sebuah kuburan. Situs Candi Lor ini terkenal sebagai tempat pertapaan tokoh yang bernama Gentiri.
Pada tahun 1913 N.J. Krom banyak mengulas tentang prasasti Anjuk Ladang yang ditemukan di halaman Candi Lor. Prasasti tersebut pernah dibawa ke Residen Kediri yang akhirnya karena kepentingan penelitian dibawa ke Jakarta dengan nomor inventaris C.59. Bagian yang memuat angka tahun pada Prasasti Anjuk Ladang tersebut sudah aus sehingga menimbulkan berbagai penafsiran para ahli. Brandes membacanya 857 Çaka yang kemudian hari diragukan ketepatannya oleh L.C. Damais. Menurutnya angka tahun tersebut haruslah dibaca 859 Çaka (937 M).
Prasasti Anjuk Ladang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isana Wikrama Dharmottungga Dewa yang memerintahkan Rakai Hino Pu Sahasra Rakai Wka Pu Baliswara serta Rakai Kanuruhan Pu Da untuk menetapkan Watek Anjuk Ladang (Nganjuk) sebagai Desa Swantantra, seperti tersurat dalam kalimat: …”Sawah kakaitan I Anjuk Ladang tutugani tanda Swantantra”.
Habib Mustopo menjelaskan bahwa data yang tak diragukan adalah adanya centara penetapan Swantantra di Anjuk Ladang dengan sebuah bangunan suci seorang tokoh yang cukup terkenal yaitu “Bhatara I Sang Hyang plasada kabyaktan I dharma samgat I Anjuk Ladang”. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Candi Lor paling tidak berasal dari 859 Çaka atau 937 M dan berhubungan langsung dengan Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isana Wikramatunggadewa dan sampai sekarang Candi Lor dikenal sebagai candi cikal bakal berdirinya Kabupaten Nganjuk dan sebagai dasar penetapan hari jadi Kota Nganjuk pada tanggal 10 April 937 M. 

Candi Lor

 5. Sejarah Candi Ngetos

Letak Geografis Candi Ngetos :
Candi Ngetos terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, sekitar 17 kilometer arah selatan kota Nganjuk. Bangunannya terletak ditepi jalan beraspal antara Kuncir dan Ngetos. Menurut para ahli, berdasarkan bentuknya candi ini dibuat pada abad XV (kelimabelas) yaitu pada zaman kerajaan (Majapahit). Dan menurut perkiraan, candi tersebut dibuat sebagai tempat pemakaman raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Bangunan ini secara fisik sudah rusak, bahkan beberapa bagiannya sudah hilang, sehingga sukar sekali ditemukan bentuk aslinya.


Berdasarkan arca yang ditemukan di candi ini, yaitu berupa arca Siwa dan arca Wisnu, dapat dikatakan bahwa Candi Ngetos bersifat Siwa–Wisnu. Kalau dikaitkan dengan agama yang dianut raja Hayam Wuruk, amatlah sesuai yaitu agama Siwa-Wisnu. Menurut seorang ahli (Hoepermas), bahwa didekat berdirinya candi ini pernah berdiri candi berukuran lebih kecil (sekitar 8 meter persegi), namun bentuk keduanya sama. N.J. Krom memperkirakan bahwa bangunan candi tersebut semula dikelilingi oleh tembok yang berbentuk bulat cincin.



Bangunan utama candi tersebut dari batu merah, sehingga akibatnya lebih cepat rusak. Atapnya diperkirakan terbuat dari kayu (sudah tidak ada bekasnya). Yang masih bisa dilihat tinggal bagian induk candi dengan ukuran sebagai berikut :

    Panjang candi (9,1 m)
    Tinggi Badan (5,43 m)
    Tinggi keseluruhan (10 m)
    Saubasemen (3,25 m)
    Besar Tangga Luar (3,75 m)
    Lebar Pintu Masuk (0,65 m)
    Tinggi Undakan menuju Ruang Candi (2,47 m) 
     Ruang Dalam (2,4 m)

Cerita Terbetuknya Candi Ngetos, yang sekarang tinggal bangunan induknya yang sudah rusak itu, dibangun atas prakarsa raja Hayam Wuruk. Tujuan pembuatan candi ini sebagai tempat penyimpanan abu jenasahnya jika kelak wafat. Hayam Wuruk ingin dimakamkan di situ karena daerah Ngetos masih termasuk wilayah Majapahit yang menghadap Gunung Wilis, yang seakan-akan disamakan dengan Gunung Mahameru. Pembuatannya diserahkan pada pamannya raja Ngatas Angin, yaitu Raden Condromowo, yang kemudian bergelar Raden Ngabei Selopurwotoo. Raja ini mempunyai seorang patih bernama Raden Bagus Condrogeni, yang pusat kepatihannya terletak disebelah barat Ngatas Angin, kira-kira berjarak 15 km.

Diceritakan, bahwa Raden Ngabei Selopurwoto mempunyai keponakan yang bernama Hayam Wuruk yang menjadi Raja di Majapahit. Hayam Wuruk semasa hidup sering mengunjungi pamannya dan juga Candi Lor. Wasiatnya kemudian, nanti ketika Hayam Wuruk wafat, jenasahnya dibakar dan abunya disimpan di Candi Ngetos. Namun bukan pada candi yang sekarang ini, melainkan pada candi yang sekarang sudah tidak ada lagi.

Konon ceritanya pula, di Ngetos dulu terdapat dua buah candi yang bentuknya sama (kembar), sehingga mereka namakan Candi Tajum. Hanya bedanya, yang satu lebih besar dibanding lainnya. Krom juga berpendapat, bahwa disekitar candi Ngetos ini terdapat sebuah Paramasoeklapoera, tempat pemakaman Raja Hayam Wuruk. Mengenai kata Tajum dapat disamakan dengan Tajung, sebab huruf “ng” dapat berubah menjadi huruf “m” dengan tanpa berubah artinya. Misalnya Singha menjadi Simha dan akhirnya Sima. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekmono yang menyatakan bahwa setelah Hayam Wuruk meninggal dunia, maka makamnya diletakkan di Tajung, daerah Berbek, Kediri.

Selanjutnya diceritakan, bahwa Raja Ngatas Angin R. Ngabei Selupurwoto mempunyai saudara di Kerajaan Bantar Angin Lodoyo (Blitar) bernama Prabu Klono Djatikusumo, yang kelas digantikan oleh Klono Joyoko. Raja-raja ini ditugaskan oleh Hayam Wuruk untuk membuat kompleks percandian. Raden Ngabai Selopurwoto di kompleks Ngatas Angin menugaskan Empu Sakti Supo (Empu Supo) untuk membuat kompleks percandian di Ngetos. Karena kesaktiannya maka dalam waktu yang tidak terlalu lama tugas tersebut dapat diselesaikan sesuai petunjuk.

6. Sejarah monumen Dr.Soetomo
Bangunan Monumen merupakan salah satu bentuk perwujudan dari sebuah penghargaan dari Negara atas jasa-jasa yang telah dilakukan seseorang yang dapat dikategorikan sebagai Pahlawan Bangsa. Salah satu bentuk monumen yang ada di Nganjuk adalah monumen Dr.Soetomo.
Dr.Soetomo merupakan salah satu pahlawan Pergerakan Nasional yang asli berasal dari Nganjuk. Untuk menghormati beliau dibangunlah sebuah monumen sebagai saksi sejarah tentang keberadaan dan kepahlawanannya dalam membela Nusa dan Bangsa
Beberapa pihak masih ada yang belum percaya atau meragukan bahwa Dr.Soetomo asli berasal dari Nganjuk kota kita yang tercinta ini. Dilatar belakangi hal tersebut maka di sini dipaparkan bagaimana proses sampai terbangunnya monumen Dr.Soetomo yang berlokasi di Desa Ngepeh Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk.
Menurut Sukoco salah satu pemerhati sejarah bumi Anjuk Ladang, menyatakan bahwa memang benar bahwa Dr.Soetomo lahir di Nganjuk di Desa Ngepeh Kec.Loceret. Bahkan ari-ari beliau diperkirakan tepat berada dibawah patung Dr. Soetomo yang digambarkan sedang duduk menghadap ke selatan, “Keterangan ini berasal dari Siti Nurjanah yang masih kerabat dekat dengan Dr.Soetomo jauh sebelum monumen Dr.Soetomo dibangun”, tambah Sukoco.
Monumen Dr.Soetomo

Monumen Dr.Soetomo yang ada di Desa Ngepeh
tersebut sebenarnya adalah rumah dari neneknya.
Disaat kabinet orde baru masih eksis, timbul pemikiran dari Menteri Penerangan yang dijabat Harmoko untuk memprakarsai pembangunan sebuah monumen sejarah Dr.Soetomo. Prakarsa untuk membangun sebuah monumen pahlawan Nasional tersebut akhirnya disetujui atau didukung oleh semua pihak baik yang ada di pusat, propinsi maupun daerah.
Berdasarkan komitmen bersama antara Harmoko (Deppen Pusat), Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten Nganjuk, akhirnya dibangunlah Monumen Dr.Soetomo yang diresmikan tepat tanggal 6 Mei 1986 untuk menghormati beliau sebagai tokoh pergerakan nasional oleh Harmoko.

Adapun riwayat Dr. Soetomo adalah adalah sebagai berikut :
Menurut urutan silsilah, eyang dari Dr. Soetomo bernama H. Abdurrahman Singowidjojo, bertempat tinggal di Desa Ngepeh Kecamatan Loceret, sedangkan ayahnya bernama R. Soewadjipoetro, pada tahun 1888 bertempat tinggal di Jombang.
Menurut informasi dari Ibu Kartini salah satu kerabat Dr. Soetomo. Menjelaskan bahwa pada saat ibu Dr.Soetomo yang bernama R. AY. Soedarmi sedang mengandung/bobot sepuh (jawa), oleh nenek ( Eyang putri ) Dr.Soetomo yang bernama R. AY. Sadilah diboyong dengan cara ditandu dari Kabupaten Jombang sampai ke Nganjuk tepatnya di Desa Ngepeh Kec. Loceret. Dan beberapa hari kemudian lahirlah jabang bayi laki-laki yang tidak lain adalah Dr. Sortomo pada tahun 1888. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun akhirnya Soetomo berkembang menjadi pemuda yang gagah dan tampan.
Dari penuturan salah satu kerabat dekat beliau yang sekarang sebagai juru kunci pemakanan khusus keluarga Dr. Soetomo yang bernama Mahmud Akiyat (39) canggah dari Kyai Bunawi bahwa sebenarnya pada masa-masa muda Soetomo ( sebelum menjadi dokter ) adalah sosok pemuda yang cukup bandel. Dia (Soetomo muda) bahkan tidak mau sekolah hingga kadang membuat berang kedua orang tuanya. Akan tetapi karena bimbingan dan pendidikan serta motivasi dan dorongan dari R. Hardjodipoero yang tidak lain adalah pamannya sendiri, akhirnya Soetomo tumbuh menjadi pemuda yang cerdas hingga mampu meraih gelar Dokter.
Setelah bergelar Dokter, Soetomo ternyata juga aktif dalam gerakan-gerakan pemuda yang pada akhirnya mampu membangkitkan semangat para penerus bangsa untuk selalu berjuang demi tegaknya kedaulatan ibu pertiwi tanah tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu maka Dr. Soetomo diberikan gelar sebagai pahlawan pergerakan nasional. Dr. Soetomo meninggal pada tahun 1938 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Surabaya.
Mengingat jasa-jasa beliau yang besar kepada negara maka atas prakarsa Harmoko pada tahun 1985 mulailah dibangun sebuah monumen yang diberi nama monumen Dr. Soetomo. Dengan harapan agar kelak dikemudian hari anak cucu generasi penerus bangsa kita yang tercinta ini dapat meneladani kepahlawanan Dr.Soetomo, demi kemajuan bangsa Indonesia menuju bangsa yang besar.

Di sebelah selatan monumen Dr. Soetomo + 1 km, terdapat makam khusus keluarga besar R. Singowidjojo. Yang bersemayam dimakam khusus keluarga besar tersebut diantaranya adalah R. Singowidjojo (Eyang kakung Dr.Soetomo), R. AY. Soedarmi Soewadjipoetro (Ibu Dr.Soetomo), R. Hardjodipoero (Paman sekaligus Pendidik Dr.Soetomo), beserta kerabat dekat lain yang masih famili dengan Dr.Soetomo yang telah meninggal seperti Siti Nurjanah, Kyai Bunawi, Sugeng Ari Subuwono. Sedangkan ayah beliau yang bernama R. Soewadjipoetro dimakamkan di Madiun.
 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar